Bayar Bayar Bayar Polisi
Sukatani Band ternyata berasal Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Band
dengan genre musik punk new wave ini hanya memiliki dua anggota
dengan nama panggung Ovi alias Twister Angel sebagai vokalis yang kini
diketahui bernama asli Novi Citra Indriyati.
Kemudian, gitarisnya dengan nama panggung Alectroguy, yang kini diketahui
bernama Muhammad Syifa Al-Lutfi.
Sukatani lahir pada tahun 2022 dan membawa banyak budaya dan dialek
Banyumasan dalam karyanya, seperti dalam lagunya yang berjudul
Alas Wirasaba. Lagu ini menggunakan bahasa ngapak Banyumasan dan
menceritakan tentang hutan yang dibabat untuk pembangunan bandar
udara.
Sukatani merupakan duo musik punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang
beranggotakan gitaris Muhammad Syifa Al Lufti dan vokalis Novi Citra
Indriyati.
Kedua musisi ini seringkali menggunakan topeng dalam penampilan mereka.
Lagu "Bayar Bayar Bayar" menggambarkan pengalaman seseorang yang harus
selalu membayar ketika berurusan dengan polisi, yang menimbulkan persepsi
negatif terhadap citra kepolisian.
Lirik lagu "bayar polisi" menjadi viral di berbagai platform media
sosial.
Pada Kamis (20/02), Sukatani mengunggah video klarifikasi dan permintaan
maaf melalui akun media sosial mereka.
"Perkenalkan saya Muhammad Syifa Al Lufti dengan nama panggung Alectroguy
selaku gitaris. Saya Novi Citra Indriyati nama panggung Twister Angel selaku
vokalis dari grup band Sukatani," ucap mereka.
Dalam video permintaan maaf, band yang biasanya tampil anonim mengenakan
topeng diminta untuk tampil tanpa topeng mereka. Lagu mereka juga telah
ditarik dari segala platform musik.
BBC telah menghubungi personel Sukatani untuk meminta konfirmasi, namun
yang bersangkutan belum berkenan memberikan keterangan.
Betapapun, tagar #kamibersamasukatani trending di X, usai Sukatani
mengunggah video klarifikasi dan permintaan maaf kepada Kapolri.
Banyak musisi mendukung band tersebut, tak sedikit warganet mengkritik
Polri yang diklaim membungkam kebebasan berekspresi dalam kesenian.
"Di dunia ini tidak ada satu orang pun yang tanpa paksaan dan sukarela
meminta maaf divideokan dan mencabut karyanya," tulis Okky Madasari,
sastrawan dan sosiolog, lewat akun media sosialnya.
BBC News Indonesia telah mendapat izin dari Okky untuk mengutip
pernyataannya.
tanggapan Kapolri?
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menduga ada miskomunikasi saat
menanggapi permintaan maaf dari band Sukatani.
"Tidak ada masalah. Mungkin ada miss, tapi sudah diluruskan," ujar Sigit seperti dilansir kantor
berita Antara, Jumat (21/02).
Sigit menekankan kepolisian tidak anti terhadap kritik dan menerima
kritik sebagai masukan untuk evaluasi.
"Dalam menerima kritik, tentunya kami harus legawa dan yang penting ada
perbaikan, dan kalau mungkin ada yang tidak sesuai dengan hal-hal yang
disampaikan, bisa diberikan penjelasan," ujarnya.
Dia menambahkan bahwa kritik menjadi pemantik bagi pihaknya untuk
memperbaiki institusi agar menjadi lebih baik lagi.
Sementara itu, Divisi Propam Polri (Divpropam) memeriksa anggota
Ditressiber Polda Jawa Tengah terkait viral video klarifikasi personel
band Sukatani mengenai lagu 'Bayar Bayar Bayar'.
"Kami sampaikan, sejumlah 4 (Empat) personel Subdit I Ditressiber Polda
Jateng telah diperiksa oleh Subbidpaminal Bidpropam Polda Jateng &
di backup oleh Biropaminal Divpropam Polri," tulis Divpropam Polri dalam akun
X, Jumat (21/02) malam.
Mereka juga mengeklaim menjamin perlindungan dan keamanan dua personel
band Sukatani dan "memastikan ruang kebebasan berekpresi tetap
terjaga".
Apa tanggapan musisi dan aktivis?
Vokalis band punk rock MCPR, Alby Moreno, menilai lagu "Bayar Bayar
Bayar" justru "menemukan rumahnya" di tengah kontroversi yang terjadi.
"Sebagai penulis lagu, kita pasti akan menulis dan merekam segala bentuk
kegelisahan yang kita rasakan. Itu juga bentuk kejujuran musisi terhadap
karyanya," ujar Alby ketika dihubungi BBC News Indonesia, Jumat
(21/02).
Lagu "Bayar Bayar Bayar" seolah "menemukan rumahnya" sebagai yel-yel demo
'Indonesia Gelap'.
Menurut Alby, ini tidak lepas dari hasil karya yang dibuat "berdasarkan
hati" sehingga menarik minat banyak orang yang memiliki "kegelisahan yang
sama".
Alby menyebut isu Sukatani di media sosial sudah dibagikan begitu banyak
akun sehingga lagu mereka "cukup mewakili bahwa kita semua gelisah tentang
kebebasan berekspresi dan berpendapat".
"Apalagi sebagai musisi, bagi kita [kebebasan] itu mutlak harus kita
miliki," ujarnya.
Alby mengapresiasi baik musisi skena maupun pendengar sama-sama terhubung
melalui lagu "Bayar Bayar Bayar".
"Kita masih dalam satu ruang yang sama. Kita sama-sama merasa senasib
sepenanggungan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman
Hamid, menyesalkan insiden penarikan karya seni dari ruang publik yang
dialami Sukatani.
Senada dengan Okky Madasari, Usman mengatakan "tidak mungkin kelompok musik Sukatani membuat video permohonan maaf yang ditujukan kepada Kapolri dan jajarannya" jika tidak ada "tekanan".
"Amnesty mendesak Kapolri untuk segera mengambil tindakan koreksi atas
dugaan adanya tekanan dalam bentuk apa pun kepada kelompok musik
Sukatani," ujarnya, Jumat (21/02).
"Polri harus mengungkap siapa pihak-pihak yang diduga menekan Sukatani untuk membuat video permohonan maaf dan menarik lagu Bayar Bayar Bayar dari ruang publik."
Pada Desember 2024, pembukaan pameran tunggal Yos Suprapto dibatalkan
karena beberapa karya pelukis asal Yogyakarta itu dinilai terlalu
mengkritik pemerintah.
'Seperti déjà vu, mendadak roh Orde Baru hadir kembali'
Pengamat musik Wendi Putranto mengatakan apa yang terjadi kepada band
Sukatani "sudah mutlak" merupakan "represi terhadap kebebasan berekspresi
dan berbicara yang ironisnya datang dari aparat penegak hukum sendir".
Wendi menilai "upaya penindasan" terhadap Sukatani seolah "menyiram
bensin di tumpukan jerami kering yang pada hari-hari belakangan ini sangat
mudah terbakar".
Hal ini, menurut dia, "luput dari kalkulasi represi polisi".
"[Penegak hukum adalah] pihak yang seharusnya bekerja dari pajak rakyat
dan menjunjung sesuai amanat konstitusinya," tutur mantan editor majalah
Rolling Stones edisi Indonesia itu ketika dihubungi pada Jumat
(21/02).
Wendi menilai grup Sukatani mencerminkan "jiwa punk" yang sesungguhnya.
Di mata pengamat musik itu, identitas kelompok musik itu "otentik" dan
"memberontak" baik dari segi pakaian mereka maupun lirik lagu.
"Terlepas disadari atau tidak disadari oleh mereka, bahkan upaya menarik
lagu dan video permohonan maaf itu menjadi sangat taktis untuk memicu
perlawanan yang meluas," jelas Wendi.
Wendi menambahkan peristiwa represi berat terhadap kebebasan berbicara
dan berekspresi di musik seperti yang dialami Sukatani terakhir kali
terjadi pada era Orde Baru tepatnya pada 1980-an.
"Ketika Rhoma Irama yang menjadi kader PPP [Partai Persatuan Pembangunan]
sekaligus [oposisi Golkar. Dilarang tampil di TVRI dan dicekal di berbagai
panggung konser, akhirnya di bergabung dengan Golkar," kenang Wendi.
"Selain itu ada juga batalnya tur konser Iwan Fals di 100 Kota pada tahun
1989 saat era album Mata Dewa idak mendapatkan izin dari aparat saat
itu."
Musisi Iwan Fals memang terkenal dengan lagu-lagu yang memotret kehidupan
sosial termasuk kritik terhadap penguasa pada zamannya.
"Jadi seperti déjà vu, mendadak roh Orde Baru hadir kembali dengan
represi terhadap Sukatani," tandasnya.
Copas dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/cwyevz4yyn1o#:~:text=Sukatani%20merupakan%20duo%20musik%20punk,menggunakan%20topeng%20dalam%20penampilan%20mereka.
No comments:
Post a Comment