-->
Rabu 16 Apr 2025

Notification

×
Rabu, 16 Apr 2025

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Bayar Bayar Bayar Polisi

Saturday, February 22, 2025 | February 22, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-23T02:49:41Z

 

Bayar Bayar Bayar Polisi 

Sukatani Band ternyata berasal Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Band dengan genre musik punk new wave ini hanya memiliki dua anggota dengan nama panggung Ovi alias Twister Angel sebagai vokalis yang kini diketahui bernama asli Novi Citra Indriyati.

Kemudian, gitarisnya dengan nama panggung Alectroguy, yang kini diketahui bernama Muhammad Syifa Al-Lutfi.

Sukatani lahir pada tahun 2022 dan membawa banyak budaya dan dialek Banyumasan dalam karyanya, seperti dalam lagunya yang berjudul Alas Wirasaba. Lagu ini menggunakan bahasa ngapak Banyumasan dan menceritakan tentang hutan yang dibabat untuk pembangunan bandar udara.

Sukatani merupakan duo musik punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang beranggotakan gitaris Muhammad Syifa Al Lufti dan vokalis Novi Citra Indriyati.

Kedua musisi ini seringkali menggunakan topeng dalam penampilan mereka.

Lagu "Bayar Bayar Bayar" menggambarkan pengalaman seseorang yang harus selalu membayar ketika berurusan dengan polisi, yang menimbulkan persepsi negatif terhadap citra kepolisian.

Lirik lagu "bayar polisi" menjadi viral di berbagai platform media sosial.

Pada Kamis (20/02), Sukatani mengunggah video klarifikasi dan permintaan maaf melalui akun media sosial mereka.

"Perkenalkan saya Muhammad Syifa Al Lufti dengan nama panggung Alectroguy selaku gitaris. Saya Novi Citra Indriyati nama panggung Twister Angel selaku vokalis dari grup band Sukatani," ucap mereka.

Dalam video permintaan maaf, band yang biasanya tampil anonim mengenakan topeng diminta untuk tampil tanpa topeng mereka. Lagu mereka juga telah ditarik dari segala platform musik.

BBC telah menghubungi personel Sukatani untuk meminta konfirmasi, namun yang bersangkutan belum berkenan memberikan keterangan.

Betapapun, tagar #kamibersamasukatani trending di X, usai Sukatani mengunggah video klarifikasi dan permintaan maaf kepada Kapolri.

Banyak musisi mendukung band tersebut, tak sedikit warganet mengkritik Polri yang diklaim membungkam kebebasan berekspresi dalam kesenian.

"Di dunia ini tidak ada satu orang pun yang tanpa paksaan dan sukarela meminta maaf divideokan dan mencabut karyanya," tulis Okky Madasari, sastrawan dan sosiolog, lewat akun media sosialnya.

BBC News Indonesia telah mendapat izin dari Okky untuk mengutip pernyataannya.

tanggapan Kapolri?

Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menduga ada miskomunikasi saat menanggapi permintaan maaf dari band Sukatani.

"Tidak ada masalah. Mungkin ada miss, tapi sudah diluruskan," ujar Sigit seperti dilansir kantor berita Antara, Jumat (21/02).

Sigit menekankan kepolisian tidak anti terhadap kritik dan menerima kritik sebagai masukan untuk evaluasi.

"Dalam menerima kritik, tentunya kami harus legawa dan yang penting ada perbaikan, dan kalau mungkin ada yang tidak sesuai dengan hal-hal yang disampaikan, bisa diberikan penjelasan," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa kritik menjadi pemantik bagi pihaknya untuk memperbaiki institusi agar menjadi lebih baik lagi.

Sementara itu, Divisi Propam Polri (Divpropam) memeriksa anggota Ditressiber Polda Jawa Tengah terkait viral video klarifikasi personel band Sukatani mengenai lagu 'Bayar Bayar Bayar'.

"Kami sampaikan, sejumlah 4 (Empat) personel Subdit I Ditressiber Polda Jateng telah diperiksa oleh Subbidpaminal Bidpropam Polda Jateng & di backup oleh Biropaminal Divpropam Polri," tulis Divpropam Polri dalam akun X, Jumat (21/02) malam.

Mereka juga mengeklaim menjamin perlindungan dan keamanan dua personel band Sukatani dan "memastikan ruang kebebasan berekpresi tetap terjaga".

Apa tanggapan musisi dan aktivis?

Vokalis band punk rock MCPR, Alby Moreno, menilai lagu "Bayar Bayar Bayar" justru "menemukan rumahnya" di tengah kontroversi yang terjadi.

"Sebagai penulis lagu, kita pasti akan menulis dan merekam segala bentuk kegelisahan yang kita rasakan. Itu juga bentuk kejujuran musisi terhadap karyanya," ujar Alby ketika dihubungi BBC News Indonesia, Jumat (21/02).

Lagu "Bayar Bayar Bayar" seolah "menemukan rumahnya" sebagai yel-yel demo 'Indonesia Gelap'.

Menurut Alby, ini tidak lepas dari hasil karya yang dibuat "berdasarkan hati" sehingga menarik minat banyak orang yang memiliki "kegelisahan yang sama".

Alby menyebut isu Sukatani di media sosial sudah dibagikan begitu banyak akun sehingga lagu mereka "cukup mewakili bahwa kita semua gelisah tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat".

"Apalagi sebagai musisi, bagi kita [kebebasan] itu mutlak harus kita miliki," ujarnya.

Alby mengapresiasi baik musisi skena maupun pendengar sama-sama terhubung melalui lagu "Bayar Bayar Bayar".

"Kita masih dalam satu ruang yang sama. Kita sama-sama merasa senasib sepenanggungan," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyesalkan insiden penarikan karya seni dari ruang publik yang dialami Sukatani.

Senada dengan Okky Madasari, Usman mengatakan "tidak mungkin kelompok musik Sukatani membuat video permohonan maaf yang ditujukan kepada Kapolri dan jajarannya" jika tidak ada "tekanan".

"Amnesty mendesak Kapolri untuk segera mengambil tindakan koreksi atas dugaan adanya tekanan dalam bentuk apa pun kepada kelompok musik Sukatani," ujarnya, Jumat (21/02).

"Polri harus mengungkap siapa pihak-pihak yang diduga menekan Sukatani untuk membuat video permohonan maaf dan menarik lagu Bayar Bayar Bayar dari ruang publik."

Pada Desember 2024, pembukaan pameran tunggal Yos Suprapto dibatalkan karena beberapa karya pelukis asal Yogyakarta itu dinilai terlalu mengkritik pemerintah.

'Seperti déjà vu, mendadak roh Orde Baru hadir kembali'

Pengamat musik Wendi Putranto mengatakan apa yang terjadi kepada band Sukatani "sudah mutlak" merupakan "represi terhadap kebebasan berekspresi dan berbicara yang ironisnya datang dari aparat penegak hukum sendir".

Wendi menilai "upaya penindasan" terhadap Sukatani seolah "menyiram bensin di tumpukan jerami kering yang pada hari-hari belakangan ini sangat mudah terbakar".

Hal ini, menurut dia, "luput dari kalkulasi represi polisi".

"[Penegak hukum adalah] pihak yang seharusnya bekerja dari pajak rakyat dan menjunjung sesuai amanat konstitusinya," tutur mantan editor majalah Rolling Stones edisi Indonesia itu ketika dihubungi pada Jumat (21/02).

Wendi menilai grup Sukatani mencerminkan "jiwa punk" yang sesungguhnya. Di mata pengamat musik itu, identitas kelompok musik itu "otentik" dan "memberontak" baik dari segi pakaian mereka maupun lirik lagu.

"Terlepas disadari atau tidak disadari oleh mereka, bahkan upaya menarik lagu dan video permohonan maaf itu menjadi sangat taktis untuk memicu perlawanan yang meluas," jelas Wendi.

Wendi menambahkan peristiwa represi berat terhadap kebebasan berbicara dan berekspresi di musik seperti yang dialami Sukatani terakhir kali terjadi pada era Orde Baru tepatnya pada 1980-an.

"Ketika Rhoma Irama yang menjadi kader PPP [Partai Persatuan Pembangunan] sekaligus [oposisi Golkar. Dilarang tampil di TVRI dan dicekal di berbagai panggung konser, akhirnya di bergabung dengan Golkar," kenang Wendi.

"Selain itu ada juga batalnya tur konser Iwan Fals di 100 Kota pada tahun 1989 saat era album Mata Dewa idak mendapatkan izin dari aparat saat itu."

Musisi Iwan Fals memang terkenal dengan lagu-lagu yang memotret kehidupan sosial termasuk kritik terhadap penguasa pada zamannya.

"Jadi seperti déjà vu, mendadak roh Orde Baru hadir kembali dengan represi terhadap Sukatani," tandasnya.

Copas dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/cwyevz4yyn1o#:~:text=Sukatani%20merupakan%20duo%20musik%20punk,menggunakan%20topeng%20dalam%20penampilan%20mereka.

No comments:

Post a Comment

×
Berita Terbaru Update